Negeri ini merupakan salah satu target investasi yang menjanjikan. Tidakkah kita optimis menghadapi tahun 2011?
Tentu saja kita layak optimis. Namun, tetap harus waspada, karena ada
beberapa “tantangan struktural” yang juga serius. Kegagalan kita
mengelola persoalan-persoalan mendasar, justru akan menjebak kita. Kita
hanya akan menjadi bangsa yang labil, karena hanya menjadi target
investasi portofolio jangka pendek.
Jika
kita tengok kondisi sektor finansial kita, yang meliputi pasar modal,
uang, utang dan perbankan, nampaknya tak ada yang mengkuatirkan. Secara
umum, peringkat investasi Indonesia terus meningkat, seiring dengan
semakin turunnya credit default swap (CDS) sebagai cermin dari risiko
investasi. Bahkan, Japan
Credit Rating Agency Ltd., (JCRA) telah menaikkan peringkat Indonesia
ke level “investment grade” atau BBB- pada bulan Juli lalu. Tidak
menutup kemungkinan, lembaga pemeringkat lainnya juga akan menaikkan rating Indonesia di tahun 2011.
Sementara
ini, Moody’s masih menempatkan Indonesia dalam 2 tingkat di bawah level
investasi (Ba2) dalam evaluasinya Juni lalu. Demikian pula S&P yang
pada bulan Maret mengevaluasi peringkat Indonesia dan menetapkan posisi
BB+/stable. Dan, Fitch Rating juga menempatkan Indonesia pada satu
tingkat di bawah investment grade, yaitu BB+. Selain
bersikap optimis, nampaknya kita juga perlu bertanya: faktor-faktor apa
sajakah yang akan menghambat kita masuk ke level investasi?
Masih melanjutkan cerita sukses, prospek perbankan kita juga tak kalah kinclong.
Di tengah ambruknya sistem perbankan global, perbankan Indonesia justru
membukukan tingkat keuntungan yang tinggi, selain menunjukkan tingkat
kehati-hatian. Tingkat Net-Interest Margin (NIM)
perbankan Indonesia yang mencapai angka sekitar 5,7 persen, merupakan
angka paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara sekitar.
Bandingkan dengan Singapura yang NIM nya hanya sekitar 2 persen,
Malaysia 2,3 persen, Thailand 3,3 persen. Jadi, tak salah jika para
bankir asing sangat berminat masuk ke Indonesia, di samping karena
potensi pasarnya yang masih sangat luas.
Ternyata,
tingkat profitabilitas yang tinggi juga ditopang oleh tingkat kesehatan
bank yang tinggi pula. Jika Basel Accord III diterapkan, dipastikan
sektor perbankan di Indonesia tidak akan mengalami masalah. Menurut data
Bank Indonesia yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2010, dari 113 bank
yang ada di Indonesia hanya 8 bank yang tingkat kecukupan modalnya (capital adequacy ratio) di bawah 8 persen. Sehingga, untuk mengikuti aturan Basel tentang modal utama atau Tier 1 Capital sebesar 4,5 persen yang harus tercapai pada 2013) dan 6 persen pada 2019, tidak akan menjadi persoalan.
Persoalan Struktural
Secara umum, prospek perekonomian Indonesia tahun 2011 sangat menjanjikan. Dan dengan demikian, potensi untuk memperolah gelar investment grade
bukanlah hal yang mustahil. Tetapi, tetap saja ada persoalan-persoalan
yang harus segera diatasi. Dan jika tidak, lagi-lagi kita berpotensi
akan kehilangan kesempatan untuk kesekian kalinya, di berbagai bidang.
Pada prinsipnya, ada dua bidang besar yang masih menjadi kendala
perekonomian kita untuk masuk dalam kritria perekonomian yang kuat.
Tantangan pertama terkait dengan masih relatif kecilnya proporsi sektor
keuangan kita terhadap skala perekonomian kita yang sangat besar. Dengan
demikian, isu financial deepening masih sangat relevan untuk direspon. Kalau perbankan kita stabil dan menguntungkan, so what? Perekonomian maju salah satunya ditandai dengan penetrasi sektor keuangan yang cukup dalam terhadap dinamika perekonomian.
Dalam laporan Bank Dunia, Financial Access
2010, terlihat bahwa jumlah penabung per 1.000 orang di Indonesia masih
sangat kecil, yaitu di bawah 1.000. Sementara, Thailand sudah mencapai
sekitar 1.500. Bahkan Malaysia sudah lebih dari 3.000. Kecenderungan
yang sama juga terjadi dalam hal jumlah pinjaman per 1.000 penduduk.
Kita sejajar dengan Kamboja dan Mongolia, dan tertinggal jauh dari
Malaysia. Bahkan kita jauh di bawah angka rata-rata untuk negara sedang
berkembang.
Data lain yang juga menunjukkan “dangkalnya” sektor finansial di Indonesia adalah rasio jumlah uang beredar (broad money/M2)
terhadap PDB yang juga masih kecil, dan bahkan ada kecenderungan
semakin mengecil hingga tahun 2007 lalu. Tentu saja, hal ini perlu
mendapatkan perhatian serius dari otoritas moneter dan pemerintah.
Terkait dengan rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
pertanyaan yang layak diajukan, siapa nanti yang akan bertanggungjawab
mendorong financial deepening?
Persoalan struktural kedua terkait dengan tingkat daya saing sektor riil kita yang masih relatif buruk. Meski World Economic Forum
(WEF) dalam “World Competitiveness Report” telah menaikkan indeks daya
saing kita dari 54 menuju 44 untuk periode 2010-2011 ini, tetapi tidak
serta-merta terjadi perubahan mendasar. Dari laporan tersebut, terlihat
bahwa membaiknya tingkat daya saing kita lebih didorong oleh perbaikan
faktor-faktor makro ekonomi, seperti tingkat inflasi yang terjaga,
pertumbuhan yang relatif tinggi di tengah krisis global, suku bunga yang
reletif rendah dsb.
Namun,
kalau kita tengok sisi fundamental dari daya saing, seperti
ketersediaan infrastruktur, dukungan birokrasi serta kualitas kesehatan
dan pendidikan masyarakat, kita masih terbilang buruk. Dengan demikian,
masih ada banyak pekerjaan yang diselesaikan untuk benar-benar
meningkatkan daya saing kita. Bisa jadi, kalau kita hanya bertumpu pada
stabilitas makro, tahun depan kembali melorot, kalau terjadi goncangan
pada sisi makro ekonomi.
Tanpa
perbaikan infrastruktur, ketersediaan sumber daya energi serta dukungan
birokrasi, sektor riil pada dasarnya tidak akan bergerak cepat. Dan
jika itu terjadi, stabilitas sektor finansial tidak akan berarti banyak
dalam peningkatan kapasitas ekonomi. Konkritnya, tidak akan ada
pergerakan sektor produksi yang meningkatkan daya beli masyarakat, dan
akhirnya kemampuan membayar pajak. Jika siklus ini gagal dicapai, maka investment grade tidak akan ada artinya.
Manfaat Investment Grade
Jika pemerintah gagal mendinamisir sektor produksi, melalui peningkatan
kapasitas investasi riil, dikuatirkan potensi investment grade
yang sudah di depan mata juga tidak bisa diraih. Lembaga pemeringkat
tentu tidak bisa dikelabui dengan menutup fakta-fakta riil di lapangan.
Kalaupun sekarang modal asing masuk deras, itu bukan semata-mata karena
alasan fundamental ekonomi domestik, tetapi juga faktor eksternal.
Dan jika perbaikan struktural gagal dicapai oleh Indonesia, sebenarnya
perekonomian kita hanya layak untuk menanam modal portofolio saja, yang
bisa angkat kali sewaktu-waktu ada dorongan, baik dari sisi domestik
maupun global. Tahun 2011 adalah penentuan, apakah potensi ekonomi
Indonesia akan benar-benar terealisasi, atau sekedar ilusi. Dan untuk
tidak membuat ilusi, maka pekerjaan konkrit sudah menunggu: membangun
infrastruktur, mereformasi birokrasi, merancang kebijakan energi,
pengembangan industri dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar